Perjalanan ke Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Provinsi Maluku Utara (Malut) bagiku adalah “hadiah” terbesar dan terindah yang Tuhan berikan di tahun 2012 ini. Sebab tidak menyangka aku dapat kesempatan mengikuti liputan ‘Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) IV’ disana pada detik-detik terakhir. Sebelumnya aku sudah tahu bakal ada kongres tersebut dari bulan Maret, tapi sempat pesimis bisa kesana. Kenyataannya, Tuhan Maha Kuasa yang membuka jalan lewat sahabat (silahturahmi memang membuka rezeki). Yah.. aku berhasil “diajak” liputan kongres tersebut oleh panitia empat hari sebelum keberangkatan. Dan akhirnya surat tugas liputan selama 10 hari pun berhasil ditangan, 8 jam sebelum take off kesana.
Biasanya sebelum menginjakkan kaki ke kota yang belum pernah ku kunjungi, lewat internet aku mencoba mencari tahu soal keadaan kota tersebut. Baik lokasi wisata, makanan, hasil kerajinan, dan sebagainya. Namun kali ini aku merasa tidak sempat. Bahkan mencoba membayangkan perjalanannya pun tidak. Yang ku tahu, perjalanan menuju Kota Tobelo sangat lama dan rumit. Apalagi seorang teman jurnalis yang pernah kesana memberitahu pengalamannya. Dia bilang, dari Jakarta pergi pagi dan sampai di Tobelo sore menyusuri perjalanan laut dan darat! (Oh My God!) Dan terakhir ia berpesan untuk tidak lupa pandangi langit disana yang penuh bintang. Indah sekali katanya. Seorang panitia juga memberi gambaran soal kota itu yang hanya punya beberapa mesin uang (ATM) dari bank pemerintah serta kami akan diinapkan di rumah penduduk. Mmmm mulai terbayang gimana “serunya”!
17 April 2012- Sekitar 10 jurnalis media cetak, online dan radio berangkat ke Ternate, Ibukota Maluku Utara dari Cengkareng. Kami lepas landas dengan Batavia Air sekitar jam 1.45 WIB dini hari. Lamanya perjalanan sekitar 3 jam lebih dan kami mendarat di Bandara Sultan Baabulah, Ternate jam 7 WIT. Perjalanan menuju Indonesia Timur di pagi hari tentu sempat menikmati terbitnya matahari lebih cepat. Beberapa menit sebelum mendarat, aku sempat mengambil gambar gunung yang seakan dikelilingi awan. Belakangan baru tahu bahwa gunung itu bernama Gunung Gamalama, salah satu gunung berapi disana.
Dari bandara, rombongan menuju Pelabuhan Gamalama. Pelabuhan itu tempat kapal cepat atau speedboat mengantarkan kami ke Pulau Halmahera dengan ongkos 50 ribu per orang. Perjalanan ke Halmahera memakan waktu 1 jam. Sempat tertidur beberapa saat, sampailah kami di Pelabuhan Sofifi, Pulau Halmahera.
Ada yang terasa beda sejak menginjakkan kaki di Maluku Utara ini, yaitu cuaca yang super panas! Tidak tahu berapa derajat tapi selama 10 hari disana kulitku sempat menghitam, kering dan terkupas. Jadi, bagi yang punya rencana kesana jangan lupa tabir surya.
Sesampai di Sofifi, kami harus melanjutkan perjalanan ke Tobelo dengan menggunakan bis Damri. Rasanya yang ada saat itu pasrah, karena kurang tidur dan belum lagi lapar yang melanda. Tapi sebelum berangkat, aku tidak lupa membeli bekal makanan dan minuman yang banyak dijual disekitar Pelabuhan Sofifi. Sengaja kulakukan untuk menghindari dehidrasi dan perut “bernyanyi”.
Perjalanan ke Tobelo ini sama sekali tidak kuperhatikan, karena aku memilih tidur. Namun sekali-kali terbangun dan melihat kiri-kanan jalan yang ada hanya pepohonan dan pantai yang indah. Sedikit sekali aku melihat rumah di pinggir jalan.
Sekitar jam 4 sore WIT, sampailah kami di kediaman Bupati Halmahera Utara, Bapak Hein Namotemo. Disana kami istirahat sejenak dan makan sore (sempat makan siang di Kecamatan Malifut). Melihat menunya kali ini agak aneh. Selain nasi dan ikan, juga disuguhi ubi rebus. Setelah tanya dengan ibu-ibu yang kuanggap tahu, ternyata ubi itu bisa dimakan dengan lauk ikan. Dan aku pun coba, ternyata not bad! Cukup enak juga (apa mungkin karena aku omnivora-pemakan segala?). Tidak hanya itu, aku juga coba minuman teh-nya yang menurut sangat nikmat! Rasanya kayak teh campur susu, tapi asli teh lho! Lalu, aku beralih mencoba beberapa gorengan pisang, ubi dan singkong. Ada yang unik! gorengan itu selalu ditemani sambal cabe merah. Bagiku agak aneh, tapi lagi-lagi menurutku semua nikmat saja di lidah!.. J
Usai menikmati penganan sore, kami akhirnya dibawa ke penginapan kelas melati bernama Alfa Mas. Rencana bermalam di rumah penduduk pun batal. Buyar juga impianku menjadi ‘warga Tobelo’ walau sejenak…J
***
18 April 2012 – Hari ini kami belum punya kegiatan terkait kongres. Namun kami sudah punya banyak rencana mengeksplore kota ini sebelum hari-hari disibukan dengan kegiatan tersebut. Sebelumnya kami mendapat informasi bahwa Tobelo dipilih menjadi tempat Kongres AMAN IV karena dianggap berhasil membawa perdamaian konflik antar agama yang terjadi tahun 1999-2001. Perdamaian itu karena masyarakat kembali ke Hibualamo (Rumah Besar). Artinya rumah tersebut menjadi simbol tempat berkumpul, bermusyawarah dan kembali ke asal (adat) dimana perbedaan bukanlah menjadi persengketaan atau konflik, sebab harus disadari masyarakat Tobelo adalah bersaudara.
Dari info itu, maka lokasi awal yang patut dikunjungi adalah Hibualamo. Disana kami yang terdiri aku (RRI), Ruru (KBR 68H), Edy Chan (Kontan) Anggit (AJI) dan Jeko (Kompas TV) mengambil gambar beberapa sudut Hiabualamo dari luar. Sambil menunggu teman, aku duduk di tembok pagar. Tiba-tiba seorang pemuda menegurku. Dia menanyakan asal dan tujuan kami ke Hibualamo dan aku pun memberitahu identitas sambil bercerita perjalanan ke Tobelo. Ia seorang petugas keamanan yang juga memberikan informasi sedikit tentang konflik agama ’99, mayoritas pemeluk agama di Tobelo dan tidak lupa nama tempat lokasi bekas kerusuhan. Tidak lama, kami pun langsung meluncur kesana.
Salah satu lokasi kerusuhan antar agama adalah di Desa Duma, kecamatan Galela. Perjalanan kesana memakan waktu 35 menit dari Tobelo ditemani sopir setia, Ronald Putra.
Duma sebuah kampung kecil dan cantik. Ia terletak di tepi Danau Galela, sebelah utara Pulau Halmahera. Di sekeliling danau, pohon dan perdu tumbuh lebat, juga pohon kelapa untuk bahan kopra (di hari-hari terakhir baru kusadar dan tahu bahwa Halmahera Utara banyak ditumbuhi pohon kelapa dan penghasil kopra terbesar). Duma juga salah satu simbol kekristenan di kepulauan Maluku. Ia termasuk salah satu kampung Kristen pertama. Makam Hendrick van Dyken, pendeta Belanda yang mulai bekerja di Galela pada 1866, juga diletakkan disini.
Gereja Masehi Injil di Halmahera cabang Duma, dibakar dan dirusak oleh milisi berbendera Islam. Negeri ini diserang oleh Pasukan Jihad pada 19 Juni 2000, dua hari sesudah jemaat GMIH Nita merayakan seratus tahun meninggalnya Hendrick van Dyken.
Kuburan massal dari anggota jemaat GMIH cabang Duma, terletak di sebelah gereja. Mereka mulanya menguburkan jenasah korban terpisah-pisah. Namun belakangan mereka mengumpulkan semuanya dalam satu tempat pemakaman. Lengkap dengan nama masing-masing korban. Setiap kuburan dengan lambang salib sempat dirusak, entah sisi kiri, kanan atau apapun, asal lambang kekristenan ini cacat. Tapi saat kami kesana batu nisan sudah kokoh rapi dan bersih. Sulit memang mencari tahu siapa salah, siapa benar, dalam pertikaian itu. Orang Muslim juga banyak dibunuh di Galela dan Tobelo. Bahkan pembunuhan orang-orang Muslim pada Desember 1999 itu mendorong orang-orang Muslim di Pulau Jawa mendirikan Laskar Jihad dan mengirimkan “pejuang jihad” ke Maluku.
Di sebelah kuburan massal juga terdapat monumen Kapal Cahaya Bahari. Kapal itu tenggelam dengan ratusan pengungsi asal Duma. Bangkai kapal tak pernah ditemukan. Mereka bikin replikanya untuk mengenang korban. Menurut Adnan Amal dari Ternate, yang menulis buku sejarah Maluku Utara, pembantaian di Duma serta tenggelamnya Cahaya Bahari berperan besar menghentikan perang di Maluku Utara.
Kami sempat mewawancari penduduk muslim dan non muslim yang tinggal di sekitar Duma. Ada rasa bahagia saat mendengar perkataan mereka yang kini sama sekali tidak punya rasa dendam atas kejadian masa lalu. Mereka hidup berdampingan, rukun dan damai. Oh senangnya.. Tidak hanya itu, aku sempat terharu, senang, campur aduk ketika seorang ibu sambil tersenyum lebar menawarkan kami mampir kerumahnya yang tepat di depan gereja dimana kami berada. Sama sekali tidak nampak rasa takut mengingat kami pendatang. Oh..ini pelajaran ketulusan pertama yang kudapat.
Saat kembali ke Tobelo, kami sempat melihat beberapa rumah dan ada mesjid yang kondisinya rusak dan ada juga masih dalam proses dibangun. Kata Ronald, rumah dan mesjid itu akibat konflik yang pernah terjadi.
***
Hari-hari lalu disibukan dengan kegiatan kongres. Namun pada tanggal 22 April 2012, beberapa jurnalis termasuk aku, menyempatkan diri ke Desa Limau. Alasan kami ke Desa ini, karena sama sekali tidak mengalami kerusuhan antar agama karena adat lah yang menguatkan mereka bersatu. Walau tahun ’99 perusuh yang datang ke desa itu sempat membakar rumah penduduk, namun penduduk setempat sudah mengungsi terlebih dulu menyelamatkan diri. (Baca tulisan Ade Tanesia)
Perjalanan ke desa ini cukup lama, memakan waktu sekitar 1,5 jam dari Tobelo. Medannya cukup sulit karena saat memasuki desa ini, harus menempuh tekstur jalan yang berbatu dan berlubang, namun cukup menantang.
Ketika sampai kami langsung menuju rumah kepala desa, Muhammad Saleh. Ia mengantarkan kami ke patung Seri Kodhoba (patung burung elang yang dipercaya penduduk setempat sebagai wujud pelindung dan penjaga alam semesta).
Ada yang membuatku terkesan saat kami berjalan kaki dari rumah kades ke tempat penyimpanan Seri Kodhoba yaitu pantai dan anak-anak penduduk. Pantai di desa limau sangat indah, so pasti masih alami dan deburan ombaknya sangat keras. Sementara anak-anak terlihat siap menyambut kedatangan kami dengan membuat barisan kiri dan kanan di depan pintu masuk rumah tradisi (bangsaha).
Menjelang sore kami kembali ke Tobelo. Ada yang menarik yaitu sepanjang perjalanan yang diguyur hujan, kami melihat bocah kecil dan remaja setempat sepertinya punya hobi mandi hujan di pinggir jalan. Tidak hanya laki-laki, tapi nampaknya anak perempuan juga gemar mandi hujan. Kesempatan itu pun tidak aku sia-siakan untuk mengambil gambar mereka…J
***
Wisata Bahari Tobelo
Aku, Ruru dan Muni (Sinar Harapan) berencana kembali ke Ternate untuk ke Jakarta 26 April. Jadi, menjelang hari-hari terakhir kami di Tobelo, selalu menyempatkan diri ke lokasi wisata di sela-sela liputan kongres. Tempat wisata di Tobelo paling banyak berupa pantai, danau atau pulau. Selain Danau Galela, aku menyempatkan diri ke Pulau Kakara. Untuk menuju ke pulau ini harus nyebrang dengan perahu nelayan selama 30 menit dengan biaya sewa 150 ribu PP. Pulau Kakara merupakan pulau kecil, namun memiliki pantai dengan air yang sangat jernih dan berwarna hijau, sehingga bisa buat snorkling.
Kemudian kami juga menyempatkan diri ke Pantai Kupa-Kupa dan Pantai Pitu. Pantai Kupa-Kupa terletak di Tobelo Selatan memiliki karakteristik yang unik berupa pepohonan beringin-ketapang yang tumbuh di sepanjang tepi pantai. Karena letaknya yang seakan-akan berada di dalam teluk maka Kupakupa memiliki arus laut yang sangat tenang sehingga sangat ideal untuk kegiatan olahraga air seperti berenang, berperahu dan snorkeling. Pada setiap hari minggu pantai ini, kabarnya selalu ramai oleh kunjungan wisatawan lokal yang datang berwisata ke tempat ini.
Sementara, Pantai Pitu terletak di Desa Pitu dengan panjang garis pantai sejauh 530 meter memiliki dasar laut yang dangkal. Apabila air laut surut maka lebar Pantai ini dapat mencapai 50 meter. Para wisatawan yang datang berkunjung ke pantai ini biasanya memanfaatkan luas pantai ini untuk berolahraga pantai seperti bermain sepakbola atau volly. Arus laut di pantai Pitu sangat tenang sehingga sangat aman untuk tempat berenang anak-anak. Dan yang unik Pantai Pitu ini memiliki pasir halus berwarna hitam. Cantik banget, dan aku gak pernah lihat pasir hitam sebagus itu.
Ada lagi Salah satu tempat wisata bagi masyarakat Tobelo, yaitu Tanjung Pilawang, berada di Desa Gura. Tanjung Pilawang berada di pusat kota Tobelo menempuh jarak 10 menit. Asyiknya di pinggir tanjung ini ada warung yang berjualan pisang goreng dan air Guraka (Air Jahe ditambah kecang kenari). Warung ini berjualan dari siang hingga malam hari. Jadi, cocok banget menikmati indahnya pantai sampai menikmati pisang goreng. Mmmm…mak yooouuusss tenan!! (semua keindahan dapat dinikmati di album foto Negeri Di Awan)
25 April 2012 – Satu hari menjelang kepulangan. Sedih rasanya akan meninggalkan Tobelo. Kota ini banyak mengajarkan ketulusan dari masyarakat dan juga sesama jurnalis. Usai penutupan Kongres AMAN IV, sekitar jam 22.00 WIT aku jalan-jalan sendiri di area pameran kongres sambil cari pernak-pernik buat oleh-oleh. Malam itu rasanya aku ingin menikmati malam terakhir ditengah karamaian warga Tobelo. Aku menikmati musik tradisionalnya, menikmati penganannya, menikmati bersamanya dan tidak lupa menikmati bintang di langit Tobelo. Malam itulah aku baru ingat pesan temanku untuk melihat bintang. Berarti, malam itu juga untuk pertama dan terakhir kalinya aku melihat bintang di Tobelo.
Sekitar jam 24.00 WIT ku kembali ke penginapan, diantar lelaki yang pertama kali menegurku di Hibualamo. Rasa sedih sangat besar terasa di dada ini. Aku ingat senyum lebar dan ramah warga yang selalu kutemui setiap hari. Senyum itu sangat jarang aku temui di kota besar, Jakarta. Ketika itu hanya bisa berharap Tuhan agar melambatkan waktu sejenak agar aku bisa menikmati Kota Tobelo lebih lama lagi. Tapi kenyataannya Tuhan tidak berpihak kepadaku.
26 April 2012 – Jam 14.30 WIT akhirnya situasi yang tidak aku inginkan mau tidak mau harus terjadi. Tobelo harus kutinggalkan. Sempat terharu saat Ronald tahu bahwa bukan dia yang mengantarkan kami ke Pelabuhan Sofifi, dia berupaya semaksimal mungkin supaya dia diberi kesempatan panitia untuk mengantarkan kami. Katanya,” selama sembilan hari saya yang mengantarkan mbak-mbak kegiatan kemana-mana, jadi saya juga yang harus mengantarkan kalian ke Sofifi.” Ada nada sedih dan kehilangan atas kepulangan kami. Dan aku pun tak sanggup menahan tangis sedih sepanjang 4 jam perjalanan ke Sofifi. Ada hati yang tertinggal,ada pengalaman yang dikenang, dan masih ada beberapa tempat yang belum aku kunjungi, seperti Pulau Morotai, Pulau Kumang, dan ke perkampungan Suku Sawai di Halmahera Tenggara.
27 April 2012 – Tangis ini kembali pecah saat burung besi Batavia Air lepas landas dari Ternate ke Jakarta. Tidak henti-henti selama 3 jam perjalanan, aku mengucap syukur yang sangat besar atas kuasaNya yang telah membawaku ke Tobelo. Pelajaran ketulusan, cinta, kasih sayang menjadi oleh-oleh yang amat berharga bagiku setelah peristiwa lalu. Aku semakin yakin apa yang pernah Dia janjikan dalam Al Qur’an. Dibalik kesulitan, pasti ada kemudahan. Dan aku berjanji dalam hati, Insya Allah aku pasti kembali kesana.. I Love You So Much Tobelo..
Tanjung Pilawang