Kisah “Imajinasi Penuntut Umum yang Berujung Pada Kematian”

Hari yang sangat melelahkan dan berat. Ada perasaan sedih pasca putusan hakim untuk Antasari. Kasian juga, dia di penjara 18 tahun. Trus, gue gak bisa ketemu dia lagi döng tiap selasa dan kamis. Duh jadi kangen dgn suasana sidang dan Antasari. Semoga kita bisa ketemu lagi ya Pak!
Kamis, 11 february 2010

Catatan diatas adalah postingan ku di media sosial Facebook usai vonis hakim yang di jatuhkan majelis hakim untuk Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi- KPK Antasari Azhar. Ada emosi ku disana, saat majelis hakim menjatuhkan vonis penjara 18 tahun untuk Antasari. Putusan sidang yang berjalan hingga malam hari membuat tubuh saya langsung lemas, merasakan atmosfer duka yang dihadapi keluarga; anak –istri Antasari. Bagaimana tidak? putusan itu tidak sesuai dengan fakta persidangan yang sama sekali jauh dari bukti bahwa Antasari berniat membunuh Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nazarudin Zulkarnaen. Dan lagi, pembawaan Antasari yang tenang dalam setiap persidangan termasuk saat vonis yang lebih berat dibanding terdakwa lainnya dalam kasus yang sama (Williardi Wizard dan Sigit Haryo Wibisono) membuatku jatuh hati alias salut dengan ketegarannya.

Sidang yang biasanya dimulai jam 10 pagi, namun kali itu baru berlangsung jam 14.00. dengan durasi persidangannya lebih lama dari biasanya. Suasana sangat riuh dengan para pendukung dan juga kontra Antasari, sehingga tidak heran penjagaan aparat keamanan untuk masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sangat ketat.

Jika kita mengkilas balik jalannya persidangan Antasari, pada 29 Januari 2010, Antasari dan tim pengacara membacakan pledoi atau berkas pembelaan setebal 500 halaman yang diberi judul “Imajinasi Penuntut Umum yang Berujung pada Kematian.” Dalam isi pembelaannya, Antasari menyatakan,tuntutan jaksa hanyalah hasil imajinasi semata atau rekayasa.

Tak heran jika tim pengacara Antasari yang terdiri dari Maqdir Ismail, Juniver Girsang, Muhmmad Assegaf, Alex Lai, Taufik Basari, Denny Kailimang melihat ada permainan jaksa penuntut umum pada kasus tersebut. Sebab, salah satu jaksa yaitu Cirrus Sinaga begitu bersemangat menuntut hukuman mati bagi Antasari pada 19 Januari 2010. Cirrus yakin, Antasari bersalah karena ikut melakukan pembujukan untuk membunuh korban. Jaksa pun mencatat , ada 10 hal yang memberatkan Antasari. Di antaranya, Antasari telah mencoreng citra penegak hukum melakukan tindakan pidana bersama perwira polisi, dan sering membuat gaduh di persidangan.

Yah, penilaianku mungkin memang subjektif, namun aku jadi ingat saat persidangan tanggal 5 Januari 2010. Saat itu PN Jaksel menghadirkan Ahli IT dari ITB, Agung Harsoyo sebagai saksi ahli. Kesimpulan Agung dari pembacaan CDR dari empat operator telekomunikasi, Ia menemukan tidak ada transaksi SMS dari enam nomor milik Antasari kepada Nasrudin sepanjang Januari hingga Maret 2009. Malah, sebaliknya ia menemukan baik Antasari maupun Nasrudin menerima SMS yang tidak teridentifikasi pengirimnya. Agung menduga SMS itu dikirim melalui webserver. Sehingga, Pengacara Antasari pun mesinyalir adanya oknum yang mengadu domba Nasrudin dengan Antasari. Hingga saat ini pun belum diketahui siapa pengirim SMS misterius tersebut.

 

Categories: Uncategorized | Tags: | Leave a comment

Dari Masjid ke Masjid di Manila, Phillipina

Menjadi keharusan bagi saya ketika melakukan perjalanan ke luar negeri adalah berkunjung ke masjid-masjid, walau negara yang saya kunjungi merupakan negara yang bermayoritas penduduk beragama non muslim. Seperti yang saya lakukan pada Maret 2014 lalu, saat ke Phillipina. Phillipina adalah negara yang 80% penduduknya beragama Katolik. Namun, ketika saya menemukan sebuah masjid dan makanan halal di negara tersebut, adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi saya.
Seperti yang saya dan teman saya, Adam di hari itu, Jumat 7 Maret 2014 di Manila. Kami berencana menuju Golden Mosque atau Masjid Al Dahab – mesjid terbesar di Manila dari penginapan kami, Villa Carolina Townhouse di 201 Roxas Blvd # 31 Bayv, Tambo, Paranaque City. Adam rencananya mau shalat Jumat di masjid itu. Namun berhubung kami menginap di daerah Paranaque City yang letaknya jauh dari Kota Manila (Golden Mosque atau Masjid Al Dahab terletak di City of Manila. Walau Paranaque City dan City of Manila sama-sama berada di Manila tapi lumayan agak jauh) akhirnya kami memutuskan mencari mesjid terdekat di Paranaque, mengingat waktu shalat Jumat sudah dekat. Kami lalu melihat di peta, terlihat ada tanda mesjid di sekitar Paranaque City tidak jauh dari tempat kami menginap. Setelah tanya sana-sini dengan tukang becak (orang sana menyebutnya threecycle), ternyata mesjid itu ada di kawasan Baclaran. So, secepat kilat kami naik jeepney dengan ongkos 8 peso/ orang (Rp 2.280) dan turun di Baclaran. Celingak-celinguk mencari tanda-tanda mesjid yang tidak nampak dimata, tiba-tiba mata ini melihat perempuan berjilbab dengan berjualan pernak-pernik di trotoar. Dari si”mbak” itu akhirnya kami dapat petunjuk lokasi mesjid yang jaraknya sekitar 100 meter. Nama mesjid kecil itu Al-Nur. Bahagia tak terkira, akhirnya Adam kesampaian bisa jumatan di salah satu masjid di Manila.
Masjid Al Nur berada di Baclaran yang terhimpit dengan toko-toko dan jalan kecil. Masjid ini tidak terlalu besar namun mempunyai dua lantai.
Sambil menunggu Adam jumatan, saya lalu mencari tempat shalat perempuan. Ternyata aku baru tahu, mesjid-mesjid di Phillipina tidak menyatukan tempat shalat pria dan wanita seperti halnya di Indonesia walau sekedar hanya ditutupi kain atau hijab. Tempat shalat wanita yang terpisah dengan pria, terletak di samping masjid. Ada pengeras suara juga di ruangan yang berukuran 5×6 itu agar para wanita yang melakukan ibadah dapat mengikuti ceramah yang disampaikan imam masjid. Di Masjid Al-Nur ini, juga saya baru tahu bahwa wanita disana juga bisa ikut shalat jumat seperti halnya para wanita di Timur Tengah.
Berhubung, kami di hari Jumat itu berlum berhasil melacak keberadaan Golden Mosque yang merupakan masjid terbesar di Manila, akhirnya Sabtu 8 Maret kami mencoba menjelajahinya.
Masjid Al-Dahab atau Golden Mosque terletak di ujung jalan Globo de Oro, nama jalan yang berarti “bola dunia ke-emasan”. Distrik atau wilayah Quiapo banyak didiami komunitas muslim Metro Manila. Di sekitar masjid itu banyak terdapat toko, warung dan rumah makan yang menyajikan makanan halal dan buah buahan segar dari pulau Mindanao, meski pengunjungnya dari beragam latar belakang termasuk pengunjung non muslim.
So, bagi yang mau datang ke masjid ini, bisa naik Jeepney jurusan Quaiapo dan si supir pasti akan memberitahukan dengan senang hati jikalau sudah dekat lokasi mesjid. Ketika kami sampai disana, waktu zuhur sudah lewat, akhirnya kami memutuskan makan terlebih dulu di warung-warung yang banyak menyajikan makanan halal. Warung makan yang berada di pinggir jalan, sekilas kami lihat layaknya rumah makan padang yang menyajikan berbagai macam menu ikan, daging dan sayur. Saking semangatnya makan, kami menghabiskan 250 peso (Rp 71.250) untuk berdua. Tapi tak apalah kami pikir..sekali-kali mengingat kami pun kesulitan mencari makan yang pas di Phillipina. Lalu setelah makan, kami pun shalat.
Namun ada catatan yang menjadi perhatian khusus sepanjang kami masuk di dua mesjid di Phillipina ini yaitu soal kebersihan yang masih kurang diperhatikan. Sangat disayangkan sekali, mestinya dengan ajaran Islam yang sangat mencintai kebersihan, hal itu juga berlaku di mesjid manapun. Aku lihat adanya kotoran hewan di tempat wudhu dan lantai mesjid Kubah emas yang tidak berkarpet dan penuh dengan debu. Sangat..sangat disayangkan.
Usai shalat kami jalan di sekitar masjid yang banyak menjajakan baju muslim pria-wanita, perlengkapan shalat atau pernak-pernik kebutuhan ibadah hingga menjajakan makanan. Lalu tujuan berikutnya kami ingin ke Green Hills yang katanya pusat perbelanjaan untuk nyari oleh-oleh. Berhubung masyarakat sana juga ada yang gak paham bahasa Inggris, tujuan kami yang seharusnya ke Green Hills Market, malah berakhir di Quaiapo Market. Lokasi Pasar Quaiapo yang gak jauh dari Masjid Kubah Emas justru membawa berkah. Karena kami bisa dapetin segala macam souvenir dengan harga yang sangat murah, mulai dari harga 20 ribu untuk tiga buah gantungan kunci atau tempelan kulkas. Piringan kayu bertulis Phillipina harga 120 peso ( Rp 36.000) dan masih banyaaak lagi. So, kalo ada informasi Green Hills adalah tempat untuk mencari souvenir di Manila,menurutku Quaiapo Market adalah tempat yang paling tepat
Tapi melihat daerah Quaiapo memang sangat kontras sekali suasana di Makati tempat kami menginap pertama kali di One River Central Hostel. Makati adalah daerah elit di Metro Manila, gedung pencakar langit dengan para ekspatriatnya hampir berada semua disitu, sementara Quiapo adalah kota lama, pasarnya penuh dengan jalanan macet.

 

Golden Mosque atau Masjid Al Dahab merupakan mesjid terbesar di Manila Phillipina

Golden Mosque atau Masjid Al Dahab merupakan mesjid terbesar di Manila Phillipina

Salah satu sudut Golden Mosque

Papan ini terpasang di depan jalan menuju Golden Mosque.

Papan ini terpasang di depan jalan menuju Golden Mosque.

Tapi melihat daerah Quaiapo memang sangat kontras sekali suasana di Makati  tempat kami menginap pertama kali di One River Central Hostel.  Makati adalah daerah elit di Metro Manila, gedung pencakar langit dengan para ekspatriatnya hampir berada semua disitu, sementara Quiapo adalah kota lama, pasarnya penuh dengan jalanan macet.

Categories: Uncategorized | Tags: | 2 Comments

Muslim Compound – Perkampungan Muslim di Bantay Phillipina

Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak ~ Kun Fayakun

Tidak ada yang tidak mungkin di hadapannya. Itu karena kuasanya tidak bertepi dan tidak pernah mempunyai batas.

Tiga hari sudah kami, saya dan Adam berada di salah satu negara anggota ASEAN Phillipina. Selama tiga hari itu, rasanya sebagai umat muslim kami merasa “sepi” tanpa suara azan dan mesjid. Namun kami menyadari penduduk negara ini mayoritas beragama Katolik. Dan itu juga yang bikin kami sangat kesulitan menemukan makanan halal.

Posisi kami di hari ketiga dalam perjalanan ke Phillipina, sedang berada di Vigan. Vigan merupakan alah satu kota kecil yang berada di Propinsi Ilocos Sur, berada di utara Pulau Luzon dengan waktu tempuh 8 jam perjalanan darat dari Ibukota Phillipina, Manila.

Kami berada di Vigan hanya sehari. Tiba hari Rabu, 5 Maret jam 5 pagi dan kembali ke Manila hari Kamis 6 Maret jam 7.30 malam.  Saat itu waktu menunjukan jam 4 sore di hari kamis. Saya dan Adam lagi duduk nongkrong di sebuah taman bernama Plaza Burgos menunggu malam datang karena kami harus kembali ke Manila. Penginapan sudah chek out sejak jam 1 siang, sedangkan untuk kembali ke Manila kami memilih perjalanan malam (malah tadinya rencana pake bis yang jam 10 malam) biar hemat biaya penginapan.

Sore hari taman itu terlihat ramai para remaja yang main basket, bersepeda, skateboard atau ada juga sekumpulan pria dewasa yang bermain catur di pinggir taman. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan salam yang biasa di ucapkan umat Islam dari remaja cowok. Dia bernama Ahsani, pelajar SMA yang saat itu mau latihan basket. Dia berani menyapa kami, karena melihatku pake kerudung. Dari Ahsani, kami dapat info kalo tak jauh dari Vigan, tepatnya di Bantay ada perkampungan Muslim namanya Muslim Compound. Informasi Ahsani bagaikan air sejuk bagi kami. Terbayang di benak, gak lama lagi kami akan menemukan halal food! Jarak Vigan dan Bantay, saya rasa cuma sejengkal alias beda kecamatan doang. Akhirnya daripada bengong, kami ke perkampungan tersebut pake threecycle alias becak dengan tarif 30 peso (8500 rupiah! – kurs 1 Peso = Rp 285,-).

Sampai disana turun dari becak, tujuan kami langsung mencari mesjid. Dan untuk masuk ke perkampungan itu, kami harus melalui jalan kecil yang cukup untuk keluar masuk satu mobil. Mata kami sudah tertuju pada kubah mesjid. Lalu, seorang pria yang sudah bapak-bapak gitu, nanya tujuan dan maksud kedatangan kami. Kami jelaskan bahwa kami dari Indonesia dan datang ke Vigan untuk liburan serta datang mesjid untuk beristirahat sebentar, sebelum kembali ke Manila.

Dari bapak tersebut yang bernama Aleq (kalo gak salah gitu deh penyebutan namanya yang gue denger), beliau mengenalkan kami dengan orang yang dituakan, dihormati di kampung tersebut yaitu bernama Pak Abdul. Setelah memperkenalkan diri dan sedikit ngobrol, Alhamdulillah Mr Abdul mempersilahkan kami istirahat di sebuah ruangan yang lumayan bisa ditempati untuk lesehan. Ruangan sebesar 4×3 plus dapur dan kamar mandi. Disitu kami diperkenalkan dengan istrinya yang bernama Shaima dan lanjut ngobrol ngalor ngidul saling tukar informasi. Pak Abdul mengaku, ia pengikut tablig dan berencana akan ke Jakarta sekitar Maret atau April ini selama sebulan untuk ikut kegiatan tersebut.

 

Bersama para bocah di Perkampungan Muslim Bantay Phillipina

Bersama para bocah di Perkampungan Muslim Bantay Phillipina

Bersama keluarga Pak Abdul yang sudah sangat baik menjamu kami

Bersama keluarga Pak Abdul yang sudah sangat baik menjamu kami

Alhamdulillah setelah beberapa hari di Phillipina akhirnya bisa menikmati makanan tanpa was-was

Alhamdulillah setelah beberapa hari di Phillipina akhirnya bisa menikmati makanan tanpa was-was

Dan sungguh beruntung kami ( kalo bisa dibilang, ini anugrah Allah), akhirnya kami sempat shalat magrib berjamaah (tadinya bingung mau magrib n Isya dimana dlm perjalanan ke Manila). Gak cuma itu, Mrs Shaima sengaja menjamu kami makan malam yang sederhana namun menurutku nikmat banget, sayur asem, ikan dan telur ikan gulai. Makan tanpa was-was dan so pasti di jamin halal! Lalu kenikmatan itu ditambah lagi waktu Pak Abdul dengan sukarela mengantarkan kami ke terminal bis Partas tujuan Manila. Beliau gak cuma nganter, tapi bener memastikan kami aman tanpa masalah saat membeli tiket dan juga diantar hingga ke tempat duduk (waaah..udah kayak ortu yang nganter anak aja deh!).. Pastinya sebelum berpisah, kami sempat tuker-tukeran FB dan no HP untuk jalin silahturahim.

Dan sepanjang perjalanan ke  Manila, peristiwa itu hingga kini sangat berkesan. Karena tanpa TanganNya, gak mungkin kami bisa bertemu saudara semuslim di tengah mayoritas di negara orang.  Allah Maha Besar.. Allahu Akbar

 

Categories: Uncategorized | Tags: | 2 Comments

Izinkanlah Aku Memenuhi PanggilanMu, Ya Allah… (Part 4)

MAKKAH AL-MUKARRAMAH

Tibalah saatnya kami akan thawaf di Ka’bah dini hari 28 Januari 2013. Rombongan berjalan ke masjid dan bagusnya, pintu masuk ke halaman masjid berhadapan dengan hotel, jadi sangat mudah aksesnya. Setelah sampai di halaman Masjidil Haram, Ustadz Farizal dan Ustadz Nurudin menginfokan tempat wudhu, tempat simpan sendal, dsb. Saat itu mungkin karena masih dalam hawa ngantuk, perasaan saya masih biasa saja, hanya mengagumi keindahan mesjid yang sangat besar itu. Tapi rasa hati juga berdebar-debar karena tidak lama lagi saya akan melihat Ka’bah, bangunan yang selalu menjadi titik pusat kiblat shalat umat Islam sedunia. Setelah melewati halaman, kami pun masuk ke teras dan bagian masjid dengan langkah kaki perlahan namun pasti.. Hati semakin berdebar-debar karena bangunan berbentuk kubus berwarna hitam itu semakin lama-semakin dekat terlihat. Saya lalu pandangi antara yakin dengan gak, beneran gak sih yang di depan mata ini adalah Ka’bah? Kenapa jarak dari teras ke Ka’bah ini rasanya dekat? dan hati rasanya belum siap nerima kenyataan bahwa yang di depan saya itu beneran Ka’bah! Kemudian, ustadz mengarahkan kami agar sujud syukur di depan Ka’bah. Hati ini masih adem ayem walau keluar air setetes dari mata ini. Sementara teman-teman rombongan ada yang nangis kesegukan. Astagfirullah.. maafkan kami yang terlalu berlebihan ini Ya Allah. Pasalnya dalam pandanganku, Ka’bah adalah bangunan yang dibuat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, namun jangan sampai kita me’tuhankan’ bangunan itu.

Setelah puas memandang Ka’bah, kami lalu mulai thawaf tujuh putaran, Sa’i tujuh kali bolak-balik (total 3,5 km), tahalul (potong rambut), diakhiri minum zam-zam sekitar jam 3 pagi. Selesai umroh, saya dan beberapa teman memilih kembali ke hotel untuk istirahat sebentar sebelum kembali untuk shalat subuh. Sementara beberapa teman lain memilih tetap di masjid untuk istirahat, tahajud bahkan ada yang usaha memegang Hajar Aswad.

Kegiatan selama di Makkah, juga disertai city tour. Kami sempat jalan-jalan ke Arafah, tempat wukuf para jamaah haji, dan tentunya ke Jabbal Rahmah yang letaknya memang di Arafah. Tau kan Jabbal Rahmah? itu loh tempat bertemunya Nabi Adam dan Hawa. Kabarnya, kalo mau dapat jodoh berdoa disana. Tapi lagi-lagi saya harus hati-hati dengan segala sesuatu yang sifatnya bid’ah (sesat) karena dalam Qur’an atau Hadist gak ada yang ngajarin begitu. Di Arafah, ada mesjid yang namanya Masjid Namira. Kami sempat shalat magrib disana. Cuma sayangnya masjid itu ditutup saat kami datang karena hanya berfungsi saat musim haji saja. Akhirnya kami shalat jamaah di teras yang gelap (tanpa lampu) dan wudhu pake air mineral yang selalu tersedia di bus. Lalu, kami juga sempat ke Museum Ka’bah dan peternakan onta.

Selama di Mekah, sebenarnya kami dapat berkali-kali melakukan umroh sendiri tanpa dibantu dengan pembimbing asalkan udah ngerti cara dan membaca doanya. Namun saat itu, saya hanya dapat melaksanakan dua kali umroh yang diakhiri thawaf perpisahan atau wada’. Di umroh kedua, saya menyempatkan meng’umroh’kan orang tua yang sudah tiada. Namun sayangnya saat umroh ke tiga saya merasa kesehatan mulai menurun. Saat umroh ke tiga, para jamaah mengambil miqot di Ja’ranah.

Categories: Uncategorized | Tags: | Leave a comment

Izinkanlah Aku Memenuhi PanggilanMu, Ya Allah… ( Part 3)

Masjid Nabawi Gak ingat malam ke berapa kami dijadwalkan ke Raudhah, bilik kecil di samping makam Rasulullah SAW. Tapi yang pasti, kami ke tempat itu sekitar jam 10 malam dan didampingi (red-guide) oleh Mbak Iin. Perempuan asal Jawa yang sudah lama bermukim di Mekkah. Kabarnya, Mbak Iin ini pernah jadi guide-nya Ibu Ani Yudhoyono kalo mau ke Raudhah. Raudhah ini letaknya tentu di dalam Masjid Nabawi, makanya ustadz Farizal butuh bantuan Mbak Iin untuk dampingi kami para jamaah perempuan. Walau badan masih terasa lelah, tapi kami semua semangat, malam-malam kesana. Karena, Raudhah adalah salah satu tempat mustajab untuk berdoa dan shalat dua raka’at disana pahalanya pun besar. Insya Allah yang menjadi hajat dikabulkan

Jalan menuju Raudhah ternyata gak gampang. Karena kami harus menunggu kapan pintu ke Raudhah itu dibuka. Walau malam-malam kesana, ternyata ribuan jamaah juga banyak yang mau shalat dan berdoa disana. Alhasil, kami harus kuat berdesakan dan rebutan tempat dengan jamaah lain biar bisa segera masuk ke area Raudhah yang berciri karpet hijau. Kami harus bisa nahan badan akibat dorong para perempuan bangsa lain yang tubuh gede-gede, bahkan harus rela diinjek atau  dilangkahin saat kami lagi shalat. Askar-askar wanita disana pun gak bisa berbuat banyak mengatur para jamaah yang bejibun. Ampun dah! Saat itu aku berpikir, bukan musim haji aja udah padat banget begini, gimana pas haji? gak kebayang deh! Perjalanan ibadah ini memang butuh fisik yang kuat. Dan atas ijin Allah melalui bantuan Mbak Iin, kami akhirnya bisa masuk ke Raudhah paling depan, berdoa dan shalat dua rakaat disana. Mau tau apa yang aku rasakan saat itu jika dibandingkan temen-temenku banyak yang terharu bisa sampai di Raudhah? Entahlah..saya gak merasakan apa-apa, gak juga tangis haru. Padahal tempat saya berdiri itu tidak jauh dari makam rasul (walau gak bisa lihat langsung ke makam karena ditutup sekat) dan artinya juga, saya sebenarnya telah masuk ke bagian dari rumah Rasulullah. Dari sela-sela sekat aku lihat mimbar tempat Rasulullah berkhotbah, tapi jujur aku sama sekali tidak merasakan aura apapun, mungkin juga karena kondisi yang sangat crowded bikin suasana hati tidak terbawa haru. Namun doa dan salamku tetap ku tujukan buat baginda Rasul.

Tiga hari di Madinah, Alhamdulillah ibadah lancar, walau sempat terjadi insiden, di hari pertama koper saya ketinggalan. Gak jelas, apakah ketinggalan di Dubai or Jeddah, yang pasti saya dan beberapa teman gak dapetin kopernya. Entah kenapa saat itu tidak ada rasa gundah atau susah. Seandainya hilang pun ikhlas walau repot karena beberapa barang penting ada di dalam koper itu. Saya lalu membeli baju gamis di pedagang kaki lima yang banyak berjualan di depan Masjid Nabawi dan Asfi pun berbaik hati meminjamkan sehelai bajunya. Tapi bersyukur, di hari kedua, Ustadz Nurudin nelfon ke kamar dan ngasih tau kalo koperku akan tiba sore. Alhamdulillah akhirnya aku bisa gonta-ganti baju..:)

Di Kota Madinah ini juga, kami sempat jalan-jalan ke kebun kurma dan Museum Qur’an. So, kalo mau cari oleh-oleh kurma, lebih baik di Madinah. Sebab, varian kurmanya lebih banyak dan harganya juga jauh lebih murah. Saya pun membeli Kurma Nabi atau nama lainnya Kurma Ajwa. Bentuknya hitam, kecil tapi rasanya uenak banget. Harganya sekitar 200-250 ribu rupiah/kilo. Trus, Qur’an cetakan Madinah juga sangat bagus.. kertasnya itu loh bagus banget. Di museum itu juga ada tokonya, jamaah bisa beli dengan harga murah. Untuk Qur’an ukuran saku harganya 12 Riyal atau sekitar 36 ribu rupiah.

Tibalah hari terakhir di Madinah. Saya puas-puasin diri ibadah di Masjid Nabawi. Selagi dua temen sekamar, tidur dan gak sanggup tahajud, saya nekat sendirian di pagi buta ke masjid. Kata orang, perempuan gak boleh sendirian jalan di tanah suci. Tapi, saya pernah liat perempuan-perempuan lain banyak yang ke masjid sendirian, so ya kali ini aku bandel aja, apalagi jarak dari hotel ke masjid juga dekat. Dan yang paling penting, aku bisa menikmati suasana usai subuh, dimana para pedagang kaki lima menjajakan dagangannya seperti baju, kaos kaki, Qur’an, kerudung, dan sebagainya dengan cara yang unik. Ada yang sambil bersenandung shalawat.. ah indah sekali suasana Madinah yang dingin pada saat itu..bbbrrrr..

Siap beberes dan sarapan, saya dan beberapa teman termasuk Asfi rencana mau ke Raudhah jam 10 pagi. Kali ini masuk ke Raudhah tidak sesulit pertama atau malam hari. Entah mengapa.. Kami tinggal ikuti intruksi para askar wanita yang juga bisa bahasa Indonesia. Tiap-tiap negara dibuat kelompok dan tiap-tiap kelompok masuk ke area Raudhah sesuai jadwal. Ketika masuk, barulah saya merasakan haru. Saya menangis.. Saya pandangi tiang-tiang letak Rasulullah dimakamkan sambil mengangkat tangan saya memberi salam, “Ya Rasul sallam alaika, Yaa Habib salam alaika, Shalawatullah alaika.” Menjelang kepergian saya meninggalkan Madinah, baru terasa rindu ini sangat hebat untuk Baginda Rasulullah. Saya berharap dan berdoa, bisa kembali ke kota yang sangat sejuk ini dan bisa tinggal lebih lama lagi. Aaamiiin..

Menjelang sore sekitar jam 3 sore, kami rombongan menuju Mekkah dengan sudah mengenakan ihram. Perjalanan Madinah ke Mekkah kurang lebih lima jam, tapi kami harus singgah di Bir Ali untuk ambil Miqot. Miqot adalah pintu masuk menuju Ka’bah atau Baitullah. Sedangkan jarak dari Bir Ali ke Mekkah sekitar empat jam lebih. Pada saat Miqot, kami mulai dengan wudhu dan shalat sunat ihram. Dalam perjalanan ke Mekah Ustadz Farizal membimbing kami membaca niat umroh dan dilanjutkan dengan membaca talbiah, “Labbaik Allaahumma labbaik, Labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka, laa syariikalak”. Campur aduk rasanya hati dan bibir ini pun bergetar saat menyerukan talbiah. Sepanjang perjalanan saya terus menerus menangis. Rasanya sulit dibanyangkan seorang Esti yang demikian kerap ingkar, sombong, durhaka, banyak dosa pada Allah bisa datang ke rumahNya untuk memenuhi panggilanNya. Datang lebih cepat dari waktu yang direncanakan. Datang dalam kondisi sakit.. namun nyatanya Allah telah memudahkan langkah ini.

“Ya Allah, aku datang karena panggilanMu. Tiada sekutu bagiMu. Segala ni’mat dan puji adalah kepunyanMu dan kekuasaanMu. Tiada sekutu bagiMu.”

…lalu aku pun tertidur…

Melalui mikrofon, Ustadz Farizal lalu membangunkan kami untuk menginfokan bahwa bus yang kami tumpangi sudah masuk ke tanah haram Mekkah Al Mukaromah. Waktu sudah menunjukan larut malam sekitar jam 12-an, saya pandangi kota Mekah dengan mata berat menahan kantuk. Gak lama terlihat samar-samar cahaya terang dari suatu tempat yang ternyata Masjidil Haram. Tiba di hotel yang berjarak cukup dekat dengan masjid, sekitar 100-an meter, kami lalu makan dan istirahat sebentar, sebab jam 1 dini hari kami akan melakukan thawaf wajib.

( sampe disini dulu ya..cerita di Mekkah-nya bisa dibaca di bagian berikutnya)

Categories: Uncategorized | Tags: , , | 2 Comments

Izinkanlah Aku Memenuhi PanggilanMu, Ya Allah… ( Part 2)

Sampai Dubai sekitar siang lupa jam berapa.. Pesawat Emirates menuju Jeddah, kembali tertunda cukup lama. Petugas bandara yang mengatur boarding pass gak sebanding dengan jumlah penumpang. Kerja petugasnya lelet. Mereka melayani rada santai, bisa sambil menelepon, sambil mengobrol, sampe berpikir apa begini kinerja mereka? Huhu… benar-benar diuji kesabaran untuk yang kedua kalinya. Ada kali kami harus nunggu dua jam sampe pada kelaparan. Tapi mau cari makanan, takut ditinggal rombongan dan belum ketemu tempat makan. Apalagi belum ada kepastian kapan kami akan take off, berhubung kami adalah penumpang korban delay yang sangat panjang. Akhirnya pihak Emirates, datanglah bantuan croisant dan minuman kotak orange jus untuk membayar rasa lapar. Oya untuk pengguna sim card Telkomsel, jaringan aman walau otomatis disesuaikan dengan tarif roaming.

Begitu boarding pass dibagikan, ternyata nggak serentak, dibagiin 10 orang dulu sedangkan total jamaah ada sekitar 42 orang..Wah lamaa. Tapi bagi yang udah dapet boarding pass bisa langsung ke gate-nya. Rupanya itu gate jauh banget.. maklumlah bandara Dubai itu buesaaar banget. Kita yang nyari gate aja harus celingak-celinguk biar gak salah. Pas mau masuk gate, kami para cewek yang bepergian sendiri tanpa mahram, harus masuk dengan “mahram” yang udah ditentukan atau tercantum dalam visa. Saat itu yang jadi mahram saya dan Asfi (kebetulan sama) adalah Mas Danang. Penerbangan menuju Jeddah sekitar dua jam. Sampai di bandara King Abdul Azis Jeddah udah malam. Disini kami pun harus dibiasakan jalan bareng mahram termasuk saat stempel pasport. Setelah urusan selesai, kami telah dijemput dengan muthowif (guide) Ustadz Nurudin untuk melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Madinah selama lima jam.

Bus yang kami gunakan sangat nyaman, besar dan ber-AC. Tiap-tiap tempat duduk, disediakan meja lipat layaknya di pesawat, jadi sangat mudah bagi kami waktu itu makan pecel ayam ala Wong Solo di dalam bus. Selesai makan, saya pun akhirnya tertidur kecapekan. Bangun..bangun bus berhenti di sebuah tempat yang nama daerahnya lupa, untuk shalat magrib dan Isya di jama’. Di tempat itu udaranya dingin banget. Memang sih, bulan Januari masuk dalam musim dingin di tanah suci. Mesjid kecil tempat kami shalat, menurutku agak aneh karena walau satu lokasi namun area laki2 dan wanitanya terpisah. Dan disitu aku punya kesan jelek dengan toiletnya..jorok, ada yang gak disiram buang hajat. Kesan itu ternyata gak cukup sekali tapi beberapa kali selama berada di tanah suci..:)

MADINAH AL MUNAWARRAH

Sesampainya di Madinah Al Munawarrah malam sudah larut dan hawa terasa dingin sekitar 24 derajat celcius. Dan kami menginap di Hotel Bahaudin. Lokasi hotel sangat strategis karena terletak didepan mesjid  Nabawi dan kamarnya sangat layak untuk dihuni untuk tiga orang. Saya sekamar masih dengan Asfi dan Mbak Erfa. Sebelum masuk hotel, saya sempetin ngintip Mesjid Nabawi dari jarak hanya 100 meter di malam yang sepi itu. Saya melihat mesjid yang sangat indah dan megah. Lalu, aku memutuskan malam itu istirahat agar bisa subuh ataupun tahajud disana.

Sebelum subuh sekitar jam 4.30 waktu Madinah, saya dan Asfi sudah tiba di Masjid Nabawi. Walau bukan musim haji, tapi masjid itu sudah sangat ramai dan kami sangat kesulitan mencari tempat buat shalat. Sampai akhirnya kami mendapatkan tempat yang sangat sempit. Seorang ibu tua berwajah timur tengah memberikan sedikit tempatnya untuk kami.. Alhamdulillah.. Setelah shalat sunat dua rakaat, saya merenungi diri yang sepertinya tidak menyangka bisa menginjakkan kaki dan shalat di mesjid yang bernilai 1000 derajat jika dibandingkan shalat di mesjid lain (kecuali Masjidil Haram). Dan air mata terus mengalir deras, saat shalat subuh berjamaah pertama kali.. Saya yang merasa diri ini sangat kecil dan tidak punya kemampuan apa-apa namun atas kehendak Allah bisa menginjakkan kaki di tanah suci. Description: Image

Usai subuh, kami kembali ke hotel, istirahat sebentar. Rencananya pagi nanti Ustadz Farizal ketua rombongan mau ngajak jalan-jalan keliling Masjid Nabawi.

Sesuai jadwal, sekitar jam 8-9 pagi setelah sarapan, kami berkeliling Masjid Nabawi sambil mendengarkan kisah masjid tersebut dan juga perjuangan Rasulullah di kota Madinah sampai beliau mangkat. Ustadz Farizal sengaja mengajak kami ke kota ini terlebih dulu sebelum ke Mekkah, tujuannya agar kami mengenal lebih dulu Rasul Allah Muhammad SAW, sebelum mengenal Tuhannya Allah SWT di Mekkah nanti. Saat berkeliling itu, berhentilah kami pada sebuah sudut halaman Masjid Nabawi dan tepat berhadapan dengan kubah hijau. Kubah itulah letak makam Rasulullah. Ahh..terasa dekat sekali dalam pandanganku. Ustadz Farizal selain bercerita tentang perjuangan Rasulullah, juga hari-hari menjelang wafatnya. Ustadz juga gak lupa mengajak kami bershalawat untuk beliau. Gak terasa, air mata ini kembali mengalir.. Ya Rasulullah begitu mulianya engkau.. Pantas lah Allah menjadikanmu kekasihNya. Betapa ku merindukanmu Ya Rasulullah…“Allahumma Shalli ‘ala Muhammad”

Lalu, selesai jalan-jalan, saya dan Asfi lalu melanjutkan shalat Dhuha hingga Dzuhur disana.. Alhamdulillah nikmatnya

***

Categories: Uncategorized | Tags: | Leave a comment

Izinkanlah Aku Memenuhi PanggilanMu, Ya Allah… (Part 1)

Keinginan ke tanah suci sudah mulai saya rasakan sejak tahun 2010. Sedikit demi sedikit uang dikumpulkan dan mulai mencari tahu biro travel yang menyelenggarakan umroh/haji dengan biaya murah. Tapi waktu terus berjalan, dana pun sudah tersedia namun belum menentukan waktu yang tepat untuk berangkat. Entah kenapa..yah mungkin masih terlalu sibuk dengan kerjaan atau masih terlena dengan godaan duniawi.

Hingga pertengahan 2012, saya menderita sakit yang bertubi-tubi, mulai dari radang tenggorokan kronis, radang telinga, gejala tiroid. Sakit yang menyerang dari kepala sampai tenggorokan tentu tidak nyaman buat beraktifitas. Bentuk fisik jadi berubah, kulit gelap tak terurus, belum lagi kulit yang meradang akibat gangguan hormon. Segala upaya saya lakukan untuk sembuh. Upaya berobat dimana pun dan harus mengeluarkan dana hingga jutaan tiap bulan untuk berobat dan meminta kesembuhan ke Allah tidak pernah putus.

Pada saat musim haji 2012, keinginan tuk ke tanah suci demikian semakin kuat. Apalagi ngeliat senior cewek ditugaskan liputan ke tanah suci selama 3 bulan, membuat keinginan semamin besar. Lalu saya coba lihat isi tabungan yang sepertinya cukup untuk kesana, lalu memutuskan ke tanah suci Februari 2013.

Suatu hari, di akhirnya Desember 2012, saya melihat suatu pengumuman di FB temen, ada perjalanan umroh di Januari 2013 dengan biaya yang lebih murah dari target. Setelah kontak person saya hubungi, akhirnya membuat saya semakin mantap berangkat umroh lebih awal dari rencana. Entah kenapa, saya merasa tangan Allah memudahkan langkahku untuk ke tanah suci kali ini di tengah kesulitan fisik dan juga dana yang banyak terpakai buat berobat. Tapi ya itulah kuasa Allah.. “Kun fayakun”  jika Allah sudah berkehendak, apapun bisa terjadi.

***

Dengan persiapan yang seadanya tapi matang, 23 Januari 2013 akhirnya saya dengan mengenakan batik corak Cirebonan berwarna merah menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta sekitar jam 13.00 karena waktu keberangkatan maskapai Emirates yang saya dan rombongan umroh tumpangi menuju Jeddah sekitar jam 17.45. Hati ini campur aduk membayangkan perjalananku kali ini bukanlah perjalanan keluar negeri biasa tapi menuju tanah suci, tempat yang paling dirindukan oleh seluruh umat Islam di dunia. Lalu, tibalah aku di bandara sekitar jam 15.00.. Memang, saya sengaja dengan ritme santai karena yakin, urusan tiket sudah ada yang ngurus, paling tinggal masukin koper ke bagasi.

Sambil menunggu keberangkatan, saya lalu shalat sunat safar dua raka’at sebagai shalat sunah yang di lakukan seseorang ketika melakukan perjalanan jauh (musafir), sementara rombongan lain ada yang menunggu di kafe atau sambil santai-santai.. Hari semakin sore, lalu menjelang magrib dan akhirnya dapat kabar kalo pesawat delay karena ada badai pasir di tanah arab, jadinya si pesawat pun terlambat menuju Indonesia. Awalnya delay sampe jam 22.00 tapi setelah menunggu sampe malam ternyata kami baru bisa berangkat besok pagi 24 Januari 2013. Berhubung ini Emirates, pelayanannya okay banget. Kami diinapkan di Hotel Aston Marina Ancol, dan saya sekamar dengan temen baru bernama Asfiranti.. Kami yang udah capek nunggu dari sore bahkan siang dapet kamar mewah dan makanannya enak pula!.Image

Singkat cerita kebesokan harinya,  24 Januari dini hari sekitar jam 3.00, kami sudah sarapan dan langsung ke bandara. Shalat subuh di bandara dan Emirates pun memberangkatkan kami sekitar jam 06.00.. Emang sih jatah stay di Madinah jadi berkurang, tapi saya rasa itu baru ujian awal yang Allah beri..:)

***

Perjalanan pertama menuju Jeddah dan harus transit di Dubai, Uni Emirate Arab. Perjalanan ke Dubai sekitar 8 jam. Awalnya mengasyikkan namun sempat mengalami buruknya cuaca selama sejam diatas pesawat. Bikin deg-degan dan saya sama sekali gak bisa santai tidur atau nonton film seperti yang lain. Di pesawat yang besar itu, saya cuma bisa dengerin musik ataupun baca yasin beberapa kali. Menariknya, walau itu perjalanan siang, tapi awak pesawat mematikan lampu kabin dan semua jendela ditutup. Yang dinyalain lampu dengan efek bintang-bintang, jadi seakan kayak perjalanan malam.. wajar kalo banyak penumpang yang memilih tidur. Oya, mungkin saya mau ingetin bagi para cewek yang mau bepergian jauh dan lama, mendingan pake jilbab atau hijab panjang ya..itu maksudnya agar lebih mudah kalo harus shalat sambil duduk di pesawat atau kendaraan.

 

 

Categories: Uncategorized | Tags: | Leave a comment

Adat Membawa Perdamaian Di Tobelo, Halmahera Utara

Perjalanan ke Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Provinsi Maluku Utara (Malut) bagiku adalah “hadiah” terbesar dan terindah yang Tuhan berikan di tahun 2012 ini. Sebab tidak menyangka aku dapat kesempatan mengikuti liputan ‘Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) IV’ disana pada detik-detik terakhir. Sebelumnya aku sudah tahu bakal ada kongres tersebut dari bulan Maret, tapi sempat pesimis bisa kesana. Kenyataannya, Tuhan Maha Kuasa yang membuka jalan lewat sahabat (silahturahmi memang membuka rezeki). Yah.. aku berhasil “diajak” liputan kongres tersebut oleh panitia empat hari sebelum keberangkatan. Dan akhirnya surat tugas liputan selama 10 hari pun berhasil ditangan, 8 jam sebelum take off kesana.

Biasanya sebelum menginjakkan kaki ke kota yang belum pernah ku kunjungi, lewat internet aku mencoba mencari tahu soal keadaan kota tersebut. Baik lokasi wisata, makanan, hasil kerajinan, dan sebagainya. Namun kali ini aku merasa tidak sempat. Bahkan mencoba membayangkan perjalanannya pun tidak. Yang ku tahu, perjalanan menuju Kota Tobelo sangat lama dan rumit. Apalagi seorang teman jurnalis yang pernah kesana memberitahu pengalamannya. Dia bilang, dari Jakarta pergi pagi dan sampai di Tobelo sore menyusuri perjalanan laut dan darat! (Oh My God!) Dan terakhir ia berpesan untuk tidak lupa pandangi langit disana yang penuh bintang. Indah sekali katanya. Seorang panitia juga memberi gambaran soal kota itu yang hanya punya beberapa mesin uang (ATM) dari bank pemerintah serta kami akan diinapkan di rumah penduduk. Mmmm mulai terbayang gimana “serunya”!

17 April 2012- Sekitar 10 jurnalis media cetak, online dan radio berangkat ke Ternate, Ibukota Maluku Utara dari Cengkareng. Kami lepas landas dengan Batavia Air sekitar jam 1.45 WIB dini hari. Lamanya perjalanan sekitar 3 jam lebih dan kami mendarat di Bandara Sultan Baabulah, Ternate jam 7 WIT. Perjalanan menuju Indonesia Timur di pagi hari tentu sempat menikmati terbitnya matahari lebih cepat. Beberapa menit sebelum mendarat, aku sempat mengambil gambar gunung yang seakan dikelilingi awan. Belakangan baru tahu bahwa gunung itu bernama Gunung Gamalama, salah satu gunung berapi disana.

Dari bandara, rombongan menuju Pelabuhan Gamalama. Pelabuhan itu tempat kapal cepat atau speedboat mengantarkan kami ke Pulau Halmahera dengan ongkos 50 ribu per orang. Perjalanan ke Halmahera memakan waktu 1 jam. Sempat tertidur beberapa saat, sampailah kami di Pelabuhan Sofifi, Pulau Halmahera.

Ada yang terasa beda sejak menginjakkan kaki di Maluku Utara ini, yaitu cuaca yang super panas! Tidak tahu berapa derajat tapi selama 10 hari disana kulitku sempat menghitam, kering dan terkupas. Jadi, bagi yang punya rencana kesana jangan lupa tabir surya.

Sesampai di Sofifi, kami harus melanjutkan perjalanan ke Tobelo dengan menggunakan bis Damri. Rasanya yang ada saat itu pasrah, karena kurang tidur dan belum lagi lapar yang melanda. Tapi sebelum berangkat, aku tidak lupa membeli bekal makanan dan minuman yang banyak dijual disekitar Pelabuhan Sofifi. Sengaja kulakukan untuk menghindari dehidrasi dan perut “bernyanyi”.

Perjalanan ke Tobelo ini sama sekali tidak kuperhatikan, karena aku memilih tidur. Namun sekali-kali terbangun dan melihat kiri-kanan jalan yang ada hanya pepohonan dan pantai yang indah. Sedikit sekali aku melihat rumah di pinggir jalan.

Sekitar jam 4 sore WIT, sampailah kami di kediaman Bupati Halmahera Utara, Bapak Hein Namotemo. Disana kami istirahat sejenak dan makan sore (sempat makan siang di Kecamatan Malifut). Melihat menunya kali ini agak aneh. Selain nasi dan ikan, juga disuguhi ubi rebus. Setelah tanya dengan ibu-ibu yang kuanggap tahu, ternyata ubi itu bisa dimakan dengan lauk ikan. Dan aku pun coba, ternyata not bad! Cukup enak juga (apa mungkin karena aku omnivora-pemakan segala?). Tidak hanya itu, aku juga coba minuman teh-nya yang menurut sangat nikmat! Rasanya kayak teh campur susu, tapi asli teh lho! Lalu, aku beralih mencoba beberapa gorengan pisang, ubi dan singkong. Ada yang unik! gorengan itu selalu ditemani sambal cabe merah. Bagiku agak aneh, tapi lagi-lagi menurutku semua nikmat saja di lidah!.. J

Usai menikmati penganan sore, kami akhirnya dibawa ke penginapan kelas melati bernama Alfa Mas. Rencana bermalam di rumah penduduk pun batal. Buyar juga impianku menjadi ‘warga Tobelo’ walau sejenak…J

***

18 April 2012 – Hari ini kami belum punya kegiatan terkait kongres. Namun kami sudah punya banyak rencana mengeksplore kota ini sebelum hari-hari disibukan dengan kegiatan tersebut. Sebelumnya kami mendapat informasi bahwa Tobelo dipilih menjadi tempat Kongres AMAN IV karena dianggap berhasil membawa perdamaian konflik antar agama yang terjadi tahun 1999-2001. Perdamaian itu karena masyarakat kembali ke Hibualamo (Rumah Besar). Artinya rumah tersebut menjadi simbol tempat berkumpul, bermusyawarah dan kembali ke asal (adat) dimana perbedaan bukanlah menjadi persengketaan atau konflik, sebab harus disadari masyarakat Tobelo adalah bersaudara.

Dari info itu, maka lokasi awal yang patut dikunjungi adalah Hibualamo. Disana kami yang terdiri aku (RRI), Ruru (KBR 68H), Edy Chan (Kontan) Anggit (AJI) dan Jeko (Kompas TV) mengambil gambar beberapa sudut Hiabualamo dari luar. Sambil menunggu teman, aku duduk di tembok pagar. Tiba-tiba seorang pemuda menegurku. Dia menanyakan asal dan tujuan kami ke Hibualamo dan aku pun memberitahu identitas sambil bercerita perjalanan ke Tobelo. Ia seorang petugas keamanan yang juga memberikan informasi sedikit tentang konflik agama ’99, mayoritas pemeluk agama di Tobelo dan tidak lupa nama tempat lokasi bekas kerusuhan. Tidak lama, kami pun langsung meluncur kesana.

Salah satu lokasi kerusuhan antar agama adalah di Desa Duma, kecamatan Galela. Perjalanan kesana memakan waktu 35 menit dari Tobelo ditemani sopir setia, Ronald Putra.

Duma sebuah kampung kecil dan cantik. Ia terletak di tepi Danau Galela, sebelah utara Pulau Halmahera. Di sekeliling danau, pohon dan perdu tumbuh lebat, juga pohon kelapa untuk bahan kopra (di hari-hari terakhir baru kusadar dan tahu bahwa Halmahera Utara banyak ditumbuhi pohon kelapa dan penghasil kopra terbesar). Duma juga salah satu simbol kekristenan di kepulauan Maluku. Ia termasuk salah satu kampung Kristen pertama. Makam Hendrick van Dyken, pendeta Belanda yang mulai bekerja di Galela pada 1866, juga diletakkan disini.

Gereja Masehi Injil di Halmahera cabang Duma, dibakar dan dirusak oleh milisi berbendera Islam. Negeri ini diserang oleh Pasukan Jihad pada 19 Juni 2000, dua hari sesudah jemaat GMIH Nita merayakan seratus tahun meninggalnya Hendrick van Dyken.

Kuburan massal dari anggota jemaat GMIH cabang Duma, terletak di sebelah gereja. Mereka mulanya menguburkan jenasah korban terpisah-pisah. Namun belakangan mereka mengumpulkan semuanya dalam satu tempat pemakaman. Lengkap dengan nama masing-masing korban. Setiap kuburan dengan lambang salib sempat dirusak, entah sisi kiri, kanan atau apapun, asal lambang kekristenan ini cacat. Tapi saat kami kesana batu nisan sudah kokoh rapi dan bersih. Sulit memang mencari tahu siapa salah, siapa benar, dalam pertikaian itu. Orang Muslim juga banyak dibunuh di Galela dan Tobelo. Bahkan pembunuhan orang-orang Muslim pada Desember 1999 itu mendorong orang-orang Muslim di Pulau Jawa mendirikan Laskar Jihad dan mengirimkan “pejuang jihad” ke Maluku.

Di sebelah kuburan massal juga terdapat monumen Kapal Cahaya Bahari. Kapal itu tenggelam dengan ratusan pengungsi asal Duma. Bangkai kapal tak pernah ditemukan. Mereka bikin replikanya untuk mengenang korban. Menurut Adnan Amal dari Ternate, yang menulis buku sejarah Maluku Utara, pembantaian di Duma serta tenggelamnya Cahaya Bahari berperan besar menghentikan perang di Maluku Utara.

Kami sempat mewawancari penduduk muslim dan non muslim yang tinggal di sekitar Duma. Ada rasa bahagia saat mendengar perkataan mereka yang kini sama sekali tidak punya rasa dendam atas kejadian masa lalu. Mereka hidup berdampingan, rukun dan damai. Oh senangnya.. Tidak hanya itu, aku sempat terharu, senang, campur aduk ketika seorang ibu sambil tersenyum lebar menawarkan kami mampir kerumahnya yang tepat di depan gereja dimana kami berada. Sama sekali tidak nampak rasa takut mengingat kami pendatang. Oh..ini pelajaran ketulusan pertama yang kudapat.

Saat kembali ke Tobelo, kami sempat melihat beberapa rumah dan ada mesjid yang kondisinya rusak dan ada juga masih dalam proses dibangun. Kata Ronald, rumah dan mesjid itu akibat konflik yang pernah terjadi.

***

Hari-hari lalu disibukan dengan kegiatan kongres. Namun pada tanggal 22 April 2012, beberapa jurnalis termasuk aku, menyempatkan diri ke Desa Limau. Alasan kami ke Desa ini, karena sama sekali tidak mengalami kerusuhan antar agama karena adat lah yang menguatkan mereka bersatu. Walau tahun ’99 perusuh yang datang ke desa itu sempat membakar rumah penduduk, namun penduduk setempat sudah mengungsi terlebih dulu menyelamatkan diri. (Baca tulisan Ade Tanesia)

Perjalanan ke desa ini cukup lama, memakan waktu sekitar 1,5 jam dari Tobelo. Medannya cukup sulit karena saat memasuki desa ini, harus menempuh tekstur jalan yang berbatu dan berlubang, namun cukup menantang.

Ketika sampai kami langsung menuju rumah kepala desa, Muhammad Saleh. Ia mengantarkan kami ke patung Seri Kodhoba (patung burung elang yang dipercaya penduduk setempat sebagai wujud pelindung dan penjaga alam semesta).

Ada yang membuatku terkesan saat kami berjalan kaki dari rumah kades ke tempat penyimpanan Seri Kodhoba yaitu pantai dan anak-anak penduduk. Pantai di desa limau sangat indah, so pasti masih alami dan deburan ombaknya sangat keras. Sementara anak-anak terlihat siap menyambut kedatangan kami dengan membuat barisan kiri dan kanan di depan pintu masuk rumah tradisi (bangsaha).

Menjelang sore kami kembali ke Tobelo. Ada yang menarik yaitu sepanjang perjalanan yang diguyur hujan, kami melihat bocah kecil dan remaja setempat sepertinya punya hobi mandi hujan di pinggir jalan. Tidak hanya laki-laki, tapi nampaknya anak perempuan juga gemar mandi hujan. Kesempatan itu pun tidak aku sia-siakan untuk mengambil gambar mereka…J

***

Wisata Bahari Tobelo

Aku, Ruru dan Muni (Sinar Harapan) berencana kembali ke Ternate untuk ke Jakarta 26 April. Jadi, menjelang hari-hari terakhir kami di Tobelo, selalu menyempatkan diri ke lokasi wisata di sela-sela liputan kongres. Tempat wisata di Tobelo paling banyak berupa pantai, danau atau pulau. Selain Danau Galela, aku menyempatkan diri ke Pulau Kakara. Untuk menuju ke pulau ini harus nyebrang dengan perahu nelayan selama 30 menit dengan biaya sewa 150 ribu PP. Pulau Kakara merupakan pulau kecil, namun memiliki pantai dengan air yang sangat jernih dan berwarna hijau, sehingga bisa buat snorkling.

Kemudian kami juga menyempatkan diri ke Pantai Kupa-Kupa dan Pantai Pitu. Pantai Kupa-Kupa terletak di Tobelo Selatan memiliki karakteristik yang unik berupa pepohonan beringin-ketapang yang tumbuh di sepanjang tepi pantai. Karena letaknya yang seakan-akan berada di dalam teluk maka Kupakupa memiliki arus laut yang sangat tenang sehingga sangat ideal untuk kegiatan olahraga air seperti berenang, berperahu dan snorkeling. Pada setiap hari minggu pantai ini, kabarnya selalu ramai oleh kunjungan wisatawan lokal yang datang berwisata ke tempat ini.

Sementara,  Pantai Pitu terletak di Desa Pitu dengan panjang garis pantai sejauh 530 meter memiliki dasar laut yang dangkal. Apabila air laut surut maka lebar Pantai ini dapat mencapai 50 meter. Para wisatawan yang datang berkunjung ke pantai ini biasanya memanfaatkan luas pantai ini untuk berolahraga pantai seperti bermain sepakbola atau volly. Arus laut di pantai Pitu sangat tenang sehingga sangat aman untuk tempat berenang anak-anak.  Dan yang unik Pantai Pitu ini memiliki pasir halus berwarna hitam. Cantik banget, dan aku gak pernah lihat pasir hitam sebagus itu.

Ada lagi Salah satu tempat wisata bagi masyarakat Tobelo, yaitu Tanjung Pilawang, berada di Desa Gura. Tanjung Pilawang berada di pusat kota Tobelo menempuh jarak 10 menit. Asyiknya di pinggir tanjung ini ada warung yang berjualan pisang goreng dan air Guraka (Air Jahe ditambah kecang kenari). Warung ini berjualan dari siang hingga malam hari. Jadi, cocok banget menikmati indahnya pantai sampai menikmati pisang goreng. Mmmm…mak yooouuusss tenan!! (semua keindahan dapat dinikmati di album foto Negeri Di Awan)

25 April 2012 – Satu hari menjelang kepulangan. Sedih rasanya akan meninggalkan Tobelo. Kota ini banyak mengajarkan ketulusan dari masyarakat dan juga sesama jurnalis. Usai penutupan Kongres AMAN IV, sekitar jam 22.00 WIT aku jalan-jalan sendiri di area pameran kongres sambil cari pernak-pernik buat oleh-oleh. Malam itu rasanya aku ingin menikmati malam terakhir ditengah karamaian warga Tobelo. Aku menikmati musik tradisionalnya, menikmati penganannya, menikmati bersamanya dan tidak lupa menikmati bintang di langit Tobelo. Malam itulah aku baru ingat pesan temanku untuk melihat bintang. Berarti, malam itu juga untuk pertama dan terakhir kalinya aku melihat bintang di Tobelo.

Sekitar jam 24.00 WIT ku kembali ke penginapan, diantar lelaki yang pertama kali menegurku di Hibualamo. Rasa sedih sangat besar terasa di dada ini. Aku ingat senyum lebar dan ramah warga yang selalu kutemui setiap hari. Senyum itu sangat jarang aku temui di kota besar, Jakarta. Ketika itu hanya bisa berharap Tuhan agar melambatkan waktu sejenak agar aku bisa menikmati Kota Tobelo lebih lama lagi. Tapi kenyataannya Tuhan tidak berpihak kepadaku.

Image

26 April 2012 – Jam 14.30 WIT akhirnya situasi yang tidak aku inginkan mau tidak mau harus terjadi. Tobelo harus kutinggalkan. Sempat terharu saat Ronald tahu bahwa bukan dia yang mengantarkan kami ke Pelabuhan Sofifi, dia berupaya semaksimal mungkin supaya dia diberi kesempatan panitia untuk mengantarkan kami. Katanya,” selama sembilan hari saya yang mengantarkan mbak-mbak kegiatan kemana-mana, jadi saya juga yang harus mengantarkan kalian ke Sofifi.” Ada nada sedih dan kehilangan atas kepulangan kami. Dan aku pun tak sanggup menahan tangis sedih sepanjang 4 jam perjalanan ke Sofifi. Ada hati yang tertinggal,ada pengalaman yang dikenang, dan masih ada beberapa tempat yang belum aku kunjungi, seperti Pulau Morotai, Pulau Kumang, dan ke perkampungan Suku Sawai di Halmahera Tenggara.

27 April 2012 – Tangis ini kembali pecah saat burung besi Batavia Air lepas landas dari Ternate ke Jakarta. Tidak henti-henti selama 3 jam perjalanan, aku mengucap syukur yang sangat besar atas kuasaNya yang telah membawaku ke Tobelo. Pelajaran ketulusan, cinta, kasih sayang menjadi oleh-oleh yang amat berharga bagiku setelah peristiwa lalu. Aku semakin yakin apa yang pernah Dia janjikan dalam Al Qur’an. Dibalik kesulitan, pasti ada kemudahan. Dan aku berjanji dalam hati, Insya Allah aku pasti kembali kesana.. I Love You So Much Tobelo..

Tanjung Pilawang

Tanjung Pilawang
Categories: Uncategorized | Tags: | Leave a comment

Menelusuri Kampung Suku Sasak, Nusa Tenggara Barat

Desa ini merupakan lokasi Suku Sasak NTB

Desa ini merupakan lokasi Suku Sasak NTB

Bersyukurlah pada Maret 2012, aku mendapat kesempatan liputan sekaligus melakukan perjalanan ke Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Selain terkenal dengan pantainya yang indah seperti Senggigi, Gili Trawangan, dan lainnya aku dapat kesempatan ke Taman Narmada dimana terdapat sumber air yang konon bias membuat awet muda, bagi yang minum dan mencuci wajah dan tangan. Selain itu, perjalanan yang hanya memakan waktu dua hari Lombok pun disempatkan berkunjung ke Dusun Sade, dimana dusun itu adalah perkampungan komunitas Suku sasak.

Suku sasak adalah salah satu suku terbesar di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sekitar 80% penduduk di pulau Lombok  ini diduduki oleh Suku Sasak dan selebihnya adalah suku lainnya, seperti suku mbojo (bima), dompu, samawa (sambawa), jawa dan hindu (Bali Lombok). Suku sasak mendiami seluruh pulau Lombok, yang tersebar di tiga Kabupaten, yakni Kab. Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Kab. Lombok Timur.

Menurut catatan sensus yang diadakan  tahun 2000 populasinya mencapai 2,6 juta jiwa. Tapi itu belum termasuk “sasak diaspora” alias sasak rantau yang menetap di Pulau Sumbawa bagian Barat, di Kalimantan Timur (akibat proyek transmigrasi), di Malaysia (TKI) dan di beberapa Kota besar di Indonesia (yang umumnya karena faktor pekerjaan dan status sebagai Mahasiswa).

Dalam keseharian, mereka menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar mereka beragama Islam. Tapi  uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, ada yang melakukan praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu. Jumlah penganutnya  hanya sekitar 1%.

Praktek yang agak berbeda misalnya mereka menggunakan syahadat dengan menggunakan bahasa jawa kuno. Hal itu terjadi karena para wali yang menyebarkan agama Islam tidak meneyelsaikan ajarannya, sehingga masyarakat terjebak pada masa peralihan itu. Selain itu, ada juga warga suku Sasak yang menganut kepercayaan  yang disebut dengan nama “sasak Boda”.

SEJARAH Sebelum Abad ke 16 Lombok berada dalam kekuasan Majapahit, dengan dikirimkannya Maha Patih Gajah Mada ke Lombok. Malah ada kabar kalau beliau wafat di Pulau Lombok dan dimakamkan di Lombok Timur. Pada Akhir abad ke 16 sampai awal abad ke 17, lombok banyak dipengaruhi oleh Jawa Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri, juga dipengaruhi oleh Makassar. Hal ini yang menyebabkan perubahan Agama Suku Sasak, yang sebelumnya Hindu menjadi Islam.

Pada awal abad ke 18 Lombok ditaklukkan oleh kerajaan Gel Gel Bali. Peninggalan Bali yang sangat mudah dilihat adalah banyaknya komunitas Hindu Bali yang mendiami daerah Mataram dan Lombok Barat. Beberapa Pura besar juga gampang di temukan di kedua daerah ini. Lombok berhasil Bebas dari pengaruh Gel Gel setelah terjadinya pengusiran yang dilakukan Kerajaan Selapang (Lombok timur) dengan dibantu oleh kerajaan yang ada di Sumbawa (pengaruh Makassar). Beberapa prajurit Sumbawa kabarnya banyak yang akhirnya menetap di Lombok Timur, terbukti dengan adanya beberapa desa di Tepi Timur Laut Lombok Timur yang penduduknya mayoritas berbicara menggunakan bahasa Samawa.

Kalau kita lihat dari aspek sejarah, orang Sasak bisa jadi berasal Jawa, Bali, Makassar dan Sumbawa. Tapi bisa juga ke empat etnis tersebut bukan Papuk Bloq orang sasak, melainkan hanya memberi pengaruh besar pada perkembangan Suku Sasak

Asal Mula Suku Sasak Nama sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata “sa’-saq” yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa’ Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus.

Tapi di lain cerita, nenek moyang Suku Sasak berasal dari campuran penduduk asli Lombok dengan para pendatang dari Jawa Tengah yang terkenal dengan julukan Mataram. Pada jaman Raja yang bernama Rakai Pikatan dan permaisurinya Pramudhawardani. Kata sasak itu sendiri berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Karena moyang orang Lombok pada jaman dulu berjalan dari daerah bagian barat Lomboq (lurus) sampai kearah timur terus menuju sebuah pelabuhan di ujung timur pulau yang sekarang bernama Pelabuhan Lombok. Mereka banyak menikah dengan penduduk asli hingga memiliki anak keturunan yang menjadi raja sebuah kerajaan yang didirikan yang bernama Kerajaan Lombok yang berpusat di Pelabuhan Lombok. Setelah beranak pinak, sebagai tanda kisah perjalanan dari Jawa memakai sampan (sak-sak), mereka menamai keturunannya menjadi suku Sak-sak, yang lama-kelamaan menjadi Sasak.

BAHASA Bahasa Sasak, terutama aksara (bahasa tertulis) nya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama sama menggunakan aksara Ha Na Ca Ra Ka …dst. Tapi secara pelafalan cukup dekat dengan Bali. Sementara kalau diperhatikan secara langsung, bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek (cara pengucapan) maupun kosa katanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Saat Pemerintah Kabupaten Lombok Timur ingin membuat Kamus Sasak saja, mereka kewalahan dengan beragamnya bahasa sasak yang ada di lombok timur, Walaupun secara umum bisa diklasifikasikan ke dalam: Kuto-Kute (Lombok Bagian Utara), Ngeto-Ngete (Lombok Bagian Tenggara), Meno-Mene (Lombok Bagian Tengah), Ngeno-Ngene (Lombok Bagian Tengah), Mriak-Mriku (Lombok Bagian Selatan)

Dari Aspek Bahasa, Papuk Bloq kita bisa jadi berasal dari Jawa (Malayo-Polynesian), Vitname atau Philipine ( Austronesian), atau dari Sulawesi (Sunda-Sulawesi)

 Rumah Adat Suku Sasak Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat tersebut didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela. Pintu yang rendah sengaja dibuat terutama di rumah kepala suku yang menandakan kehormatan karena ketika masuk harus menundukan badannya.

 Sistem Perkawinan Suku Sasak Adat istiadat suku sasak dapat dilihat pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan jika mau dinikahka lelaki maka yang perempuan harus  dilarikan dulu dan dibawa kerumah keluarga pihak laki laki. Tradisi ini dikenal dengan sebutan merarik atau selarian. Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang lelaki. Tradisi ini disebut dengan mesejati atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai makan akan diadakan yang disebut dengan nyelabar atau kesepakatan mengenai biaya resepsi.

 Perkawinan yang terjadi pun masih bersifat perkawinan saudara, yaitu perkawinan antar sepupu. Informasi yang kami dapat dari juru bicara Suku Sasak, di satu desa Sade terdiri dari 150 KK/ Kepala Keluarga dan semuanya masih bersifat saudara, perkawinan yang terjadi pun masih seputar satu lingkungan mereka. Walaupun mereka mayoritas beragama islam, namun adat perkawinan antar saudara masih tetap dilestarikan. Jika  suku sasak ingin menikah dengan suku lain yang berbeda provinsi, biasanya si calon pasangannya harus membayar denda yang cukup banyak di setiap desa yang dia lalui.

 Perekonomian Suku Sasak Kehidupan perekonomian suku sasak yaitu dalam bidang pertanian dan perkebunan. Mereka bertani dan menanam berbagai kebutuhan mereka sehari-hari. Sepulangnya mereka dari bertani, mereka menyempatkan diri untuk bertenun di sore hari. Tetapi, untuk saat ini dengan semakin terkenalnya suku sasak dan makin banyaknya ‘pelancong’ yang datang ke perkampungan mereka, maka mereka pun menjual berbagai hasil karya baik tenun maupun kerajinan tangan mereka yang lainnya. Di satu desa Sade yang saya datangi pun hampir setiap 3 meter atau setiap rumah menjual hasil karya mereka. Saat ini, suku sasak di desa Sade jauh lebih berkembang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kerejinan tangan mereka sudah dikoordinir oleh koperasi desa yang dikelola oleh pengurus desa yang tidak lain masih satu kerabat dengan seluruh masyarakatnya.(*)Image

Categories: Uncategorized | Tags: | Leave a comment

Belitong, Negeri Laskar Pelangi

Sedikit takjub melihat keindahan pantai disekitar Pulau Belitung menjelang 15 menit landing dari Jakarta. Aku seakan belum pernah melihat indahnya air laut berwarna hijau sebelumnya. Padahal seingatku, hijaunya air di pantai ini tidak jauh berbeda dengan pantai di Sabang, Aceh atau Bunaken Sulawesi Utara. Tidak hanya air pantai berwarna hijau, tapi terlihat beberapa lokasi tempat galian timah. Pikiranku bercampur aduk dan menerawang. Hingga akhirnya langsung teringat film ‘Laskar Pelangi’ yang sangat fenomenal itu. Ternyata benar, film itu tidak hanya “menjual” cerita dan mimpi tapi juga menyajikan keindahan alam ciptaan Tuhan yang menurutku luar biasa.

Perjalanan menuju Belitung dari Jakarta lebih nyaman dengan pesawat sekelas Boeing 737-300. Ada dua penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang ke Bandara HAS Hananjoedin Tanjung Pandan. Waktu tempuh perjalanan sekitar 45 menit dengan biaya antara Rp 450.000 – Rp 750.000 sekali jalan.

Setiba di Bandara HAS Hananjoedin, aku dan beberapa teman langsung menuju penginapan di Hotel Bahamas. Hotel bintang tiga itu tersebut letaknya di pantai Air Saga masih di kawasan Tanjung Pandan dengan waktu tempuh sekitar 25 menit dari bandara. Menyusuri jalan raya di pulau ini menuju penginapan sangat menyenangkan. Jalan aspal yang halus mulus dan di kiri kanan jalan, mata dimanjakan dengan beberapa rumah tradisional khas melayu dan berbentuk rumah panggung. Aku jadi ingat kampung halaman di Aceh, yang suasananya kurang lebih sama. Dalam perjalanan pun sambil tersenyum, aku langsung teringat penulis Andrea Hirata. Yah…ditempat ini dia dilahirkan dan membangun mimpi hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan beasiswa ke Prancis lalu jadi penulis..:)

Kisah Belitung

Belitung atau Belitong merupakan bahasa setempat, yang diambil dari nama sejenis siput laut.  Dulunya dikenal sebagai Billiton adalah sebuah pulau di lepas pantai timur Sumatra, Indonesia. Pulau itu diapit oleh Selat Gaspar dan Selat Karimata. Belitung terkenal dengan lada putih yang dalam bahasa setempat disebut sahang, dan bahan tambang tipe galian-C seperti timah putih dan granit. Akhir-akhir ini, Belitung menjadi tujuan wisata alam alternatif. Pulau ini dahulu dimiliki Britania Raya (1812), sebelum akhirnya ditukar kepada Belanda, bersamaan dengan Bengkulu, Singapura dan New Amsterdam (sekarang bagian kota New York). Tanjung Pandan akhirnya menjadi kota utama pulau ini.

Pulau Belitung terbagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung, beribukota di Tanjung Pandan, dan Belitung Timur, beribukota Manggar.

Sebagaian besar penduduknya, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai, sangat akrab dengan kehidupan bahari yang kaya dengan hasil ikan laut. Berbagai olahan makanan yang berbahan ikan menjadi makanan sehari-hari. Kekayaan laut menjadi salah satu sumber mata pencaharian penduduk Belitung. Sumber daya alam yang tidak kalah penting bagi kehidupan masyarakat Belitung adalah timah. Usaha pertambangan timah sudah dimulai sejak zaman Hindia Belanda.

Penduduk Pulau Belitung terutama adalah suku Melayu (bertutur dengan dialek Belitung) dan keturunan Tionghoa Hokkien dan Hakka.

 

Penginapan

 Ada berbagai macam penginapan di Belitung. Jika memilih untuk menginap di dekat pantai, ada hotel dengan standar bintang 3 di Tanjung Tinggi dan resort kecil di daerah Tanjung Binga, dan Tanjung Kelayang. Sementara di Tanjungpandan (yang lebih dekat ke pusat kota) yang berjarak 30km dari areal pantai paling tidak ada 3 hotel dengan standar maximum bintang dua. Hotel-hotel tersebut memasang tarif sekitar Rp 400.000 – Rp 1.200.000 per malam.

Jika memilih tinggal di hotel-hotel di Tanjungpandan, akan memudahkan berwisata kuliner makanan khas warung sederhana yang buka pada malam hari di seputar kota.

Angkutan kota yang sulit

Angkutan umum di Belitung sepertinya sulit ditemukan. Hampir tidak terlihat angkot lalu lalang bersliweran baik di depan hotel maupun di pusat kota. Sehingga dianjurkan untuk menyewa mobil sejenis kijang atau muat 10 orang dengan harga Rp.350.000-Rp.500.000 per hari tanpa atau sekaligus supir.

Kudapan Khas

Jalan –jalan ke daerah lain, rasanya gak afdol kalau tidak berwisata kuliner. Suto Belitong bisa dicoba. Makanan ini sepintas seperti ketupat sayur, tetapi rasanya beda. Kuah dibuat dari rebusan kari iga sapi dicampur santan kelapa. Lalu ada sedikit irisan daging dan bumbu-bumbu, irisan lontong, bihun, emping, kentang ditaburi bawang goreng. Gak ketinggalan tambah campuran kecap dan jeruk limau menjadikan makanan ini segar untuk dijadikan menu sarapan sambil minum kopi.

Salah satu tempat yang bisa direkomendasiin untuk mencicipi Suto Belitong adalah di warung sebelah toko Kopi Ake (Akiong). Warung ini, di pusat kota Tanjungpandan dan mulai buka sekitar jam 8 pagi sampai menjelang malam.

Selain Suto Belitong ada lagi Mie Belitong. Sekilas mi ini seperti mie kocok. Rasanya manis dan gurih. Awalnya agak aneh karena kuahnya yang kental tapi lama-lama enak juga. Yang bikin enak adalah kuah kari udang nya yang gurih dan kental, dicampur dengan mie dan tauge, irisan tahu goreng, emping dan cabe rawit tumbuk khas Belitong.

Untuk urusan Minum yang menjadi pasangan serasi Mie Belitong adalah es jeruk Kunci yang juga terkenal dari Belitung. Awalnya orang mengira sirup itu dari jeruk nipis. Ternyata bukan! Tapi bener-bener namanya Jeruk Kunci. Buahnya sebesar lemon atau limau, tapi manis. Sirup ini juga dijual di toko oleh-oleh dengan harga Rp 30.000 per botol.

Tanjung Tinggi

Memulai petualangan menuju Tanjung Tinggi! Tempat ini merupakan pantai yang diapit oleh dua semenanjung. Untuk bisa ke pantai ini dari penginapan, menempuh waktu sekitar 45-1 jam dengan kendaraan pribadi. Pantai ini berpasir putih, dan unik karena ada banyak ratusan batu granit besar yang tersebar di kedua semenanjung dan juga di laut depan pantai. Ukuran granit mulai dari beberapa meter kubik hingga ratusan meter kubik lebih besar dari sebuah bangunan sebesar rumah. Untuk menikmati pemandangan, anda bisa naik, berjalan dan melompat diantara granit. Bentuk dari batu-batu besar itu juga unik, sebagian membentuk gua, yang dapat digunakan berteduh selama hujan. Batu-batu itu bertumpuk satu sama lain membentuk obyek yang menarik.

Tanjung tinggi juga sebagai salah satu lokasi syuting film Laskar Pelangi. Sebutan lain Tanjung Tinggi adalah Pelabuhan Bilik. Dulu tempat ini pelabuhan nelayan bagi desa terdekat Keciput atau Tanjung Tinggi. Disana juga ada dua puluh rumah makan seafood sederhana di sepanjang pantai Tempat ini beristirahat sejenak, minum kopi atau memesan makan siang. Bahkan kalau sedang musim, buah durian juga nampak dijual disana. Menu utama di warung-warung ini adalah makanan laut. Hanya saja, jangan berharap anda mendapatkan menu sekelas restoran di mall. Mereka hanya orang-orang desa yang membuka restoran sederhana.

Setiba di Tanjung Tinggi rasanya tidak sabar untuk berlari ke pantai dan menikmati airnya yang berwarna hijau-biru. Semakin kita mengitari sudut-sudut pantai, semakin bisa melihat keindahan panorama pantai ini. Total panjang pantai kira-kira 1.2km, tapi kita bisa berjalan lebih jauh lagi karena sepanjang pantai pasir tetap putih.

Pulau Lengkuas

Petualangan kedua, kami menuju Pulau Lengkuas . Pulau ini merupakan  pulau kecil, terletak di arah Utara desa Tanjung Binga. Luas totalnya kurang dari satu hektar. Di seputar pulau ada banyak pulau batu-batu granit yang bisa dicapai hanya dengan berjalan kaki melintasi laut yang dangkal dengan kedalaman kurang dari 1.2m.  Air lautnya benar-benar jernih, kita bisa jelas melihat ke dasar laut termasuk ikan-ikan yang berenang didalamnya. Ini adalah tempat yang menyenangkan untuk bermain di air laut atau snorkling.

Mahkota dari pulau Lengkuas sebenarnya adalah sebuah mercusuar tua, dibangun oleh Belanda sejak tahun 1882. Bangunan ini memiliki 12 lantai dengan tinggi kurang lebih 50m. Setiap pengunjung bisa dengan bebas naik menuju puncak mercusuar, dengan syarat lepas sepatu atau sendal untuk menjaga kebersihan mercusuar. Untuk mencapai puncak sedikit sulit karena perlu tenaga ekstra, tapi jangan khawatir karena usaha tidak akan sia-sia. Pemandangan dari puncak mercusuar Lengkuas begitu indah untuk 360 derajat keliling pulau

Hanya ada 3 orang yang tinggal di Lengkuas. Mereka adalah operator dari Mercusuar. Perlu diketahui, persediaan air sangat terbatas di pulau ini, meskipun ada tersedia toilet, tapi penggunaan air sangat terbatas.

Lengkuas bisa dicapai dengan menyewa perahu dari Tanjung Kelayang. Harga sewa kira-kira Rp 350 ribu untuk sekali perjalanan yang biasanya menghabiskan waktu setengah hari. Lama perjalanan dari pantai di Belitung ke Lengkuas hanya kira-kira 30-45 menit. Perahu sewaan tersebut bisa membawa 30-40 orang dan ini adalah perahu nelayan yang biasanya digunakan untuk mencari ikan pada malam hari.

Waktu yang paling tepat untuk mengunjungi Lengkuas adalah bulan Maret – November. Selama masa ini ombak laut cendrung lebih tenang, sehingga bisa menikmati perjalanan dengan perahu, snorkling dan berenang di perairan yang jernih. Selama masa Desember – Januari, ombak mungkin lebih besar dari biasanya, dan kadang-kadang hujan sepanjang hari.

Diantara pulau Lengkuas dan pelabuhan nelayan di Tanjung Kelayan terdapat pulau yang lain yang dinamakan pulau Burung. Dalam perjalanan ke Lengkuas anda akan melewati pulau ini. Pulau ini sedikit lebih besar daripada Lengkuas, dengan pasir putih di sisi Selatan dan bebatuan granit di sisi Utara. Pengunjung biasanya berhenti sejenak di pulau Burung dalam perjalanan pulang dari Lengkuas ke Tanjung Kelayang. Objek paling menarik dari pulau Burung adalah batu granit yang berbentuk seperti burung yang terdapat di pantai pulau tersebut, karena itu pula mungkin pulau ini dinamakan pulau Burung.

Itulah sekelumit cerita tentang Belitung. Dua hari rasanya tidak cukup untuk mengeksplore tempat wisata di pulau ini. Sebab, ada beberapa tempat sejarah milik raja setempat yang patut dikunjungi. Aku hanya berharap suatu saat bisa kembali ke Belitung dalam waktu lebih lama dan petualangan yang lebih mengasyikan. Ciaaao…(*)

 

Mercusuar di Pulau Lengkuas

Mercusuar di Pulau Lengkuas

Mie Belitong

Mie Belitong

Tanjung Tinggi

Tanjung Tinggi
Categories: Uncategorized | Tags: | Leave a comment

Blog at WordPress.com.